Minggu, 15 Oktober 2017

Pendidikan Karakter dan Fun Learning

Naskah lomba feature sekolah dasar

Oleh : Safina Zahra Ayesha Darajat


Selama 6 tahun, saya bersekolah di Sekolah Alam Depok, salah satu sekolah yang ada di daerah Bedahan, kota Depok, atau biasa disingkat menjadi ‘SADe’. Tetapi, karena di sana belum ada sekolah menengah, usai lulus, saya beralih ke sebuah SMP islam terpadu yang agak jauh dari rumah. Dan hingga saat ini, saya masih tercatat sebagai siswi kelas 8 di sana.
Mengingat kurikulum di sekolah alam jauh berbeda dengan yang ada di sekolah biasa, akan sedikit sulit bagi para alumni seperti saya untuk bisa beradaptasi dengan baik di lingkungan baru. Apalagi saya yang sudah terlanjur cinta dengan sekolah alam dan menganggap ‘fun learning’ yang dipadukan dengan alam semacam itu adalah metode belajar yang paling pas buat saya. Tetapi, apa boleh buat. Saya juga sekalian ingin coba-coba dan ingin tahu, bagaimana, sih, pendidikan di sekolah biasa itu? Jadi, saya sedikit ‘berjuang’ untuk menyesuaikan diri.

Nilai Pendidikan Formal Tidak Selalu Menjamin Keunggulan dalam Persaingan dalam Belajar

Di SD, saya baru mengenal ulangan ketika kelas 6, itupun hanya sekilas dengan tryout ujian sekolah. Sebelum-sebelumnya, ujian hanya ada di akhir semester 1 dan 2. Tidak ada yang namanya mid semester dan ulangan harian. Itupun tidak mengandung kata-kata ‘ujian’, karena dinamakan ‘Evaluasi Hasil Belajar’(EHB).
Tetapi, dengan ujian yang jarang-jarang, tetap saja tidak menghasilkan siswa-siswi yang bodoh dan pemalas. Saya sendiri juga baru menyadarinya. Di semester pertama saya bersekolah di SMP ini, nilai-nilai ulangan harian yang saya dapatkan, semuanya di atas KKM yang tentu saja berkisar 70-80. Dan, alhamdulillah, saya meraih peringkat pertama 2 kali berturut-turut di kelas 7.
Awalnya, saya juga agak kaget karena berbeda jauh dengan hasil tes akademik yang saya jalani sebelum resmi menjadi siswi di sekolah ini. Mungkin, karena kali ini saya mulai mengenal ‘belajar sebelum ulangan’.
Namun, yang membuat saya bingung untuk menjawab adalah, ketika banyak teman yang bertanya, “Safina, kok kamu pintar sekali, sih? Belajarnya bagaimana?”.
Padahal, saya pikir, cara belajar saya juga sama seperti mereka. Membaca buku cetak dan catatan, membuat ringkasan sesuai dengan kisi-kisi yang diberikan, lalu menghafal, dan sesekali mengerjakan soal-soal evaluasi. Begitu saja. Dan saya kira, mereka lebih rajin dibanding saya yang baru terjun ke lingkungan sekolah biasa. Apalagi, saya lebih sering menyibukkan diri dengan hobi, seperti menulis dan menggambar. Terutama, kegiatan menulis yang tidak bisa dipisahkan dengan saya walaupun sedang belajar untuk ujian sekalipun. Saya sudah punya 5 buku yang sudah diterbitkan dan 2 lagi sedang diterbitkan.
Lantas, kenapa? Kenapa saya bisa seperti itu?
Karena rasa penasaran yang tinggi, saya pun melakukan sedikit ‘penelitian’ terhadap teman-teman yang berasal dari SD biasa.

Peraturan Sekolah

Ya… pengamatan yang saya lakukan sederhana saja. Mula-mula, saya memperhatikan tingkah laku beberapa siswa.
Di SMP ini, peraturannya tidak terlalu ketat, namun tetap saja agak susah untuk dijalankan bagi beberapa murid. Misalnya, makan dengan tangan kanan, makan harus sambil duduk, tidak boleh makan di kelas, dilarang berkata-kata kotor dan kasar… dan hal-hal lain yang seperti itu. Sebenarnya, bagi saya, semua itu mudah untuk dipatuhi, dan pada dasarnya memang penting dan harus ditaati. Namun, di luar dugaan, rupanya masih banyak siswa yang melanggar di luar pengawasan guru. Walau begitu, dari OSIS ada yang bertugas untuk mencatat nama-nama yang melanggar, untuk kemudian diberi tindakan. Tetapi, banyak juga yang tidak pernah jera.
Dan dari sana, saya pun mendapat kata kuncinya : perhatian dari guru. Tak jarang saya temui beberapa guru yang tegas. Yang ‘kelewat tegas’ juga ada, dan sering sekali beberapa anak yang berbuat salah, dimarahi(lebih tepatnya dinasehati) dengan suara keras. Tentu saja cara itu sangat menyakiti hati dan menjengkelkan.
Tetapi, malahan, siswa yang bahkan hampir setiap hari dimarahi seperti itu, adalah siswa yang paling banyak melakukan pelanggaran setiap harinya. Seperti yang sudah tertulis di atas : tidak pernah jera. Saya pun berpikir, kenapa mereka tidak pernah kapok walaupun sudah diberi hukuman sedemikian rupa?
Akhirnya, saya pun mengerti, dan saya membuat quotes sendiri tentang itu :
MENGINGATKAN dengan cara MENYAKITI dapat membuat orang lain patuh, namun itu hanya SEMENTARA. Sedangkan, MENGINGATKAN dengan LEMBUT maupun TEGAS namun tetap MENJAGA PERASAAN orang lain, akan menghasilkan dampak baik JANGKA PANJANG, meski itu butuh PROSES.
Intinya, seseorang akan dapat menerima sesuatu jika hal itu disampaikan dengan cara yang tepat, walaupun terkadang dia membutuhkan waktu untuk mengerti tentang hal tersebut. Itu juga saya dapatkan dari guru SD saya. “Ketika kamu meminta orang lain untuk diam dengan berteriak, dia hanya akan terdiam sementara, kemudian kembali mebuat kegaduhan. Tetapi, jika kamu menegurnya dengan tenang, dia akan bisa mengerti kalau saat itu dia benar-benar harus diam, sehingga perlahan dia akan menghentikan keberisikannya,” begitulah kira-kira kata-katanya.
Dan bahkan saya juga baru sadar akan hal itu sekarang, tepatnya 3 tahun setelah guru tersebut memberikan nasehat itu. Itulah yang dinamakan proses. Setiap manusia itu butuh proses untuk mencerna dengan sangat-sangat baik.
Jika seorang guru selalu mengharapkan hasil yang cepat dari muridnya yang berperilaku tidak baik, sehingga dia terus memarahi muridnya itu, siswa tersebut tidak punya waktu untuk merenung. Sehingga, bukannya mengikuti nasehat gurunya itu, dia malah berbalik membencinya dan mencari-cari kekurangan guru itu. Dan itu membuat kelakuannya kian bertambah buruk.
Di beberapa kasus tentang pelanggaran terhadap peraturan sekolah yang melibatkan beberapa teman saya, saya sering mendengar kata-kata seperti ini : “Ah, cuma dihukum begini, sama teman-teman ini, udah biasa ini,”.  Dan tidak pernah terlewat ‘kata motivasi’ seperti “bodo amat” atau “nggak peduli”. Jadi, mereka seperti habis makan dan meninggalkan sampahnya di satu tempat, lalu pergi ke tempat lain untuk melakukan hal yang sama juga.

Lalu, Apa Hubungannya dengan Belajar?

Dari situ, saya mengetahui bahwa pendidikan karakterlah yang harus lebih ditekankan pada anak usia dini. Kenapa? Karena hal itu akan tebawa hingga dewasa, dan itu akan berguna ketika belajar di jenjang pendidikan berikutnya. Namun, mendidik juga harus dengan cara yang tepat.
Misalnya, jika seorang anak melanggar peraturan, gurunya harus mengingatkan dengan lembut dan berusaha untuk tidak melukai hatinya. Peran guru pun sangat penting dan harus selalu ada di sisi murid. Dengan begitu, guru menjadi lebih mengenal tingkah laku siswa yang bersangkutan, sehingga ia bisa menemukan cara atau metode pengajaran yang paling pas untuk anak tersebut.
Di samping itu, pendidikan di bidang akademik juga tidak boleh dilupakan. Tetapi, jangan sampai melebihi pendidikan untuk pembentukan karakter, karena itu yang paling penting untuk anak kecil. Mereka harus diajar secara perlahan-lahan sampai mengerti dan tanpa beban.
Perlu diterapkan metode fun learning. SD saya, Sekolah Alam Depok, juga menggunakan metode tersebut. Dalam belajar, praktek lebih diutamakan daripada teori, karena dengan begitu anak-anak dapat benar-benar mengetahui informasi yang diberikan dengan melihat, mendengar, dan meraba objeknya secara langsung.
Guru pun juga harus senantiasa memberikan motivasi pada siswa. Jika semangat belajarnya mulai menurun, guru harus menyemangati siswa tersebut. Jika dia selesai mengerjakan tugas, dia harus diberi pujian, namun tidak berlebihan. Misalnya, kata-kata, “kamu sudah berusaha dengan baik” lebih bagus dibanding “kamu pintar”.
Nilai juga sebenarnya tidak diperlihatkan jika merasa tidak perlu. Di SD saya, hampir tidak pernah terlihat nilai angka di atas kertas hasil ujian. Yang kami lihat hanyalah kata-kata seperti ‘good’, ‘very good’, ‘excellent’, dan lain sebagainya, sebagai bentuk apresiasi guru terhadap kerja keras kami. Bahkan, setiap kalimat itu ada artinya. Misalnya, jika seorang murid mendapatkan ‘good’, itu berarti ia mendapat nilai kurang. Dan jika murid lain mendapatkan kata ‘very excellent’, artinya, dia memperoleh hasil yang sangat bagus.
Kami juga tidak pernah memikirkan nilai. Kalau sudah mendapat nilai tersebut, ya sudah, dilupakan saja. Terbenam oleh semua kesenangan selama di sekolah. Yang paling mirip dengan angka adalah nilai huruf seperti ‘B’, ‘A’, atau ‘A+’, yang biasa kami lihat di hasil ujian bahasa Inggris. Bahkan, guru juga biasanya menambahkan bintang, stiker, atau cap yang lucu-lucu sebagai penyemangat.

Jawaban atas Pertanyaan tentang Cara Belajar

Dengan belajar secara menyenangkan, belajar tidaklah menjadi beban. Jadi, meski di masa SD seorang siswa memiliki nilai-nilai yang belum terlalu bagus, tetapi jiwa siswa tersebut telah terisi dengan semangat menuntut ilmu, maka siswa itu dapat mempunyai potensi yang besar untuk meraih keberhasilan di jenjang selanjutnya. Berbeda dengan murid yang telah tertekan di awal, padahal pemikirannya belum matang sehingga terciptalah kemalasan dan kebencian dalam belajar. Hasilnya, ‘penyakit’ tersebut akan terus terbawa sampai dia tumbuh dewasa.
Tidak hanya itu, dengan pendidikan yang membentuk karakter seorang anak secara perlahan-lahan, akan menghasilkan dampak juga untuk masa depannya. Misalnya, ketika seorang anak berusia 7 tahun, dia diberitahu agar makan itu seharusnya duduk dan dengan tangan kanan. Mungkin, di usia yang lebih tua, dia akan merenungkan kembali tentang itu, dan dia jadi mencari tahu sebab akibat dari peraturan tersebut. Dengan begitu, dia menjadi tahu kenapa peraturan itu harus ditaati.
Sedangkan, jika pendidikan karakter baru ditekankan ketika seorang anak sudah menginjak usia remaja, pasti akan susah untuk membuatnya menjadi anak baik. Dia bisa saja tidak peduli walaupun selalu dihukum karena pelanggaran yang dibuatnya. “Yang penting nggak dibawa sampai tua, yang penting nggak bakal begini-begitu, yang penting nggak bakal mati,” mungkin itulah yang ada di pikiran mereka.
Intinya, jawaban untuk pertanyaan teman-teman tentang cara belajar saya adalah, yang penting adalah pembentukan karakter yang telah saya dapatkan di SD. Pola pikir yang telah terbentuk sehingga menganggap belajar itu tidak hanya untuk mendapatkan nilai bagus, tetapi juga untuk diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, dan sebagai salah satu investasi masa depan.

Tidak Semuanya Negatif

Namun, tidak semua hal dalam proses pendidikan formal (sekolah biasa) negatif. Banyak hal positif seperti belajar teratur, persaingan lebih konkret dan mamacu diri untuk mencapai target tertentu, misalnya, dapat menjadi perangsang diri untuk lebih berpikiran maju dan bersikap kompetitif.

Walau begitu, tetap saja harus diimbangi dengan pembentukan karakter. Peran guru sangatlah penting dalam pendidikan sekaligus pembentukan karakter siswa di sekolah. Guru harus mengetahui cara mendidik yang tepat. Alangkah lebih baik jika masalah bisa diselesaikan tanpa harus memarahi murid. Dengan begitu, siswa dapat terdorong untuk menjadi diri sendiri yang berkepribadian positif, mampu bersaing, dan tetap ceria.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar