Aku
cukup senang berada di sekolah ini. Salah satunya, karena guru-guru yang baik
dan teman-teman yang menyenangkan. Dan aku menyayangi mereka semua. Aku senang
sekali bersekolah di sini.
Tapi, itu hanya ketika awal aku
masuk sekolah. Semua itu sudah berakhir. Aku sudah salah berpikir bahwa punya
teman itu menyenangkan. Salah sekali.
Contohnya,
pada suatu sore di hari Kamis. Aku sedang piket membersihkan kelas. Aku melihat
Dian dan Ira masih beres-beres tas sambil berbincang. Lantai di sekitar meja
mereka masih kotor. Aku pun mendekat seraya membawa sapu. “Permisi, aku sapu
dulu, ya,” ujarku.
Reaksi
mereka aneh. “Iya,” kata Ira. Dian tertawa kecil. Mereka buru-buru mengambil
tas, kemudian pergi. Tanpa sengaja, aku mendengar obrolan mereka ketika berjalan
keluar kelas.
“Ayo
cepet-cepet kabur, nanti ketularan!” bisik Dian. Ira terkikik.
Mendengarnya,
aku curiga. Jangan-jangan tadi itu hinaan untukku? Aku tahu, kebiasaan curiga
berlebihan ini tidak baik, tetapi kali ini aku benar-benar bisa membaca tanda-tanda
itu.
Tidak
hanya itu, teman-teman yang lain juga mulai bertingkah laku seperti itu. Seperti
Muna, Fitri, dan Agnes. Aku menjadi terlalu curiga, dan akhirnya berprasangka
buruk.
Jadi,
semua orang yang menghina seperti itu selalu kuabaikan. Aku tidak pernah
tersenyum di hadapan mereka, bahkan sengaja cemberut. Tetapi, hal itu membuat
kondisi semakin buruk. Anak-anak itu mulai berani membicarakanku dengan suara
keras, bahkan ketika sedang berada di dekatku. Mereka juga menghasut
teman-teman yang lain. Sejak saat itu, setiap hari, aku masuk ke kelas,
mengikuti pelajaran, kemudian langsung pulang. Tanpa mengobrol pada siapapun,
juga ‘ditemani’ ejekan-ejekan yang senantiasa dilontarkan seisi kelas.
Sampai suatu hari Minggu, paman dan bibi datang. Kak
Farida, kakak sepupuku, juga ikut. Aku sangat senang. Kami mengobrol di halaman
belakang sambil menikmati es lilin.
Tapi, di sela perbincangan, aku melamun. Aku memikirkan
betapa baiknya Kak Farida. Aku rindu sosok orang yang selalu menyayangiku. Sayangnya,
Kak Farida tinggal di luar kota. Jarak antara kota itu dengan kota tempat
tinggalku lumayan jauh. Selain saudara, tidak ada lagi orang yang menyayangiku
sepenuh hati.
Kak Farida tampak memerhatikan wajahku. “Kamu
kenapa? Lagi sedih, ya?” tanyanya. Aku pun menceritakan semua yang kualami di
sekolah. Tentang perlakuan teman-teman yang membuatku menderita. Kemudian,
caraku menghadapi mereka yang malah memperburuk keadaan.
“Ooh, gitu…. Tapi, menurut aku, itu bisa aja karena
kamu sendiri,” kata Kak Farida setelah mendengar ceritaku.
“Maksudnya?”
“Jadi, kalau kamu malah cemberut sama mereka, mereka
malah makin benci sama kamu. Mereka nggak bakal nyadar atau menyesal akan kesalahan
mereka kalau kamu begitu,” jelas Kak Farida. “Kamu juga harus lebih sering
berinteraksi sama mereka. Mungkin yang bikin mereka ngomongin kamu itu, karena
kamu terlalu menutup diri. Kalau kamu bisa dekat sama mereka, kan, mereka bisa
ingetin kalau kamu ada salah.”
Mendengarnya, aku mulai tersadar.
“Coba kamu baikin mereka, sedikit demi sedikit. Misalnya,
kamu bisa menawarkan bantuan ke mereka,” saran Kak Farida. “Atau, minimal kamu
senyum setiap ketemu dengan mereka.”
Ya! Aku pasti bisa melakukannya! “Oke, Kak, nanti
aku coba, deh,” kataku.
Kak Farida mengacungkan jempol. “Kakak yakin kamu
pasti bisa! Semangat!”
Aku tersenyum. “Iya, Kak, terima kasih solusinya,”
ucapku.
* * *
“Hai, Dian, Agnes!” sapaku ketika berpapasan
dengan kedua anak itu di koridor.
“Oh, halo, Khaula,” balas Agnes.
Dian tampak tersenyum menahan tawa, tapi aku berusaha untuk tidak memikirkan
itu. Aku tersenyum pada mereka, lalu kembali berjalan.
Di kelas, aku mencoba mendekati Ira
yang sedang mengerjakan soal latihan. Dia terlihat kebingungan. “Ira, aku boleh
bantu, nggak?” Aku menawarkan bantuan.
“Boleh aja, sih,” kata Ira. Dia pun
menunjukkan soal yang tidak bisa dia kerjakan. Aku pun mengajarinya cara menyelesaikan
soal itu.
“Oh, gitu caranya,” Ira
mengangguk-angguk mengerti setelah kuajari. “Makasih, ya.”
“Iya, sama-sama,” ucapku. Aku pun
beranjak menuju tempat teman yang lain, melakukan hal yang sama. Lama kelamaan,
kalau aku seperti ini, terasa menyenangkan.
Ketika jam istirahat, aku pergi ke
kantin. Hari ini, aku mendapat uang jajan lebih banyak, sebagai imbalan dari Ibu
karena aku membantunya berjualan minggu lalu. Kulihat Muna dan Fitri sedang
memilih-milih jajanan. Aku menghampiri mereka. “Kalian mau beli apa?” tanyaku.
“Nggak, Muna doang, aku cuma ikut
aja. Uangku ketinggalan di rumah,” kekeh Fitri.
Aku merogoh saku. “Nih, buat kamu,” kataku
seraya menyodorkan selembar uang pecahan 10.000 rupiah.
“Wah, bener, nih?” Fitri tampak
ragu-ragu. Aku mengangguk. “Waah, makasih banyak, Khaula!” ucap Fitri,
mengambil uang itu. Aku tersenyum. Hatiku mulai nyaman. Sepanjang hari ini, aku
sudah tidak mendengar ejekan lagi.
Sampai suatu pagi, ketika aku masuk
kelas, Dian dan teman-temannya sudah berdiri di ambang pintu. “Khaula, kami
minta maaf, ya. Selama ini kami udah kasar sama kamu,” ujar Agnes.
“Ternyata kamu nggak seperti yang
kami kira,” sambung Dian. “Kamu mau kan maafin?”
Aku tersenyum, lalu mengangguk. “Dari
awal aku udah maafin kalian, kok.”
Mereka tampak senang. Satu persatu,
mereka bergantian menjabat tanganku. Seisi kelas juga ikut berjabat tangan
denganku. Hari ini, aku telah menyadari, bahwa, berteman itu indah.[]
(cerpen ini Safina buat untuk mengisi rubrik cerpen di bulletin sekolah)