Sabtu, 24 Juni 2017

Senyum Kebaikan Khaula

Aku cukup senang berada di sekolah ini. Salah satunya, karena guru-guru yang baik dan teman-teman yang menyenangkan. Dan aku menyayangi mereka semua. Aku senang sekali bersekolah di sini.
            Tapi, itu hanya ketika awal aku masuk sekolah. Semua itu sudah berakhir. Aku sudah salah berpikir bahwa punya teman itu menyenangkan. Salah sekali.
Contohnya, pada suatu sore di hari Kamis. Aku sedang piket membersihkan kelas. Aku melihat Dian dan Ira masih beres-beres tas sambil berbincang. Lantai di sekitar meja mereka masih kotor. Aku pun mendekat seraya membawa sapu. “Permisi, aku sapu dulu, ya,” ujarku.
Reaksi mereka aneh. “Iya,” kata Ira. Dian tertawa kecil. Mereka buru-buru mengambil tas, kemudian pergi. Tanpa sengaja, aku mendengar obrolan mereka ketika berjalan keluar kelas.
“Ayo cepet-cepet kabur, nanti ketularan!” bisik Dian. Ira terkikik.
Mendengarnya, aku curiga. Jangan-jangan tadi itu hinaan untukku? Aku tahu, kebiasaan curiga berlebihan ini tidak baik, tetapi kali ini aku benar-benar bisa membaca tanda-tanda itu.
Tidak hanya itu, teman-teman yang lain juga mulai bertingkah laku seperti itu. Seperti Muna, Fitri, dan Agnes. Aku menjadi terlalu curiga, dan akhirnya berprasangka buruk.
Jadi, semua orang yang menghina seperti itu selalu kuabaikan. Aku tidak pernah tersenyum di hadapan mereka, bahkan sengaja cemberut. Tetapi, hal itu membuat kondisi semakin buruk. Anak-anak itu mulai berani membicarakanku dengan suara keras, bahkan ketika sedang berada di dekatku. Mereka juga menghasut teman-teman yang lain. Sejak saat itu, setiap hari, aku masuk ke kelas, mengikuti pelajaran, kemudian langsung pulang. Tanpa mengobrol pada siapapun, juga ‘ditemani’ ejekan-ejekan yang senantiasa dilontarkan seisi kelas.
Sampai suatu hari Minggu, paman dan bibi datang. Kak Farida, kakak sepupuku, juga ikut. Aku sangat senang. Kami mengobrol di halaman belakang sambil menikmati es lilin.
Tapi, di sela perbincangan, aku melamun. Aku memikirkan betapa baiknya Kak Farida. Aku rindu sosok orang yang selalu menyayangiku. Sayangnya, Kak Farida tinggal di luar kota. Jarak antara kota itu dengan kota tempat tinggalku lumayan jauh. Selain saudara, tidak ada lagi orang yang menyayangiku sepenuh hati.
Kak Farida tampak memerhatikan wajahku. “Kamu kenapa? Lagi sedih, ya?” tanyanya. Aku pun menceritakan semua yang kualami di sekolah. Tentang perlakuan teman-teman yang membuatku menderita. Kemudian, caraku menghadapi mereka yang malah memperburuk keadaan.
“Ooh, gitu…. Tapi, menurut aku, itu bisa aja karena kamu sendiri,” kata Kak Farida setelah mendengar ceritaku.
“Maksudnya?”
“Jadi, kalau kamu malah cemberut sama mereka, mereka malah makin benci sama kamu. Mereka nggak bakal nyadar atau menyesal akan kesalahan mereka kalau kamu begitu,” jelas Kak Farida. “Kamu juga harus lebih sering berinteraksi sama mereka. Mungkin yang bikin mereka ngomongin kamu itu, karena kamu terlalu menutup diri. Kalau kamu bisa dekat sama mereka, kan, mereka bisa ingetin kalau kamu ada salah.”
Mendengarnya, aku mulai tersadar.
“Coba kamu baikin mereka, sedikit demi sedikit. Misalnya, kamu bisa menawarkan bantuan ke mereka,” saran Kak Farida. “Atau, minimal kamu senyum setiap ketemu dengan mereka.”
Ya! Aku pasti bisa melakukannya! “Oke, Kak, nanti aku coba, deh,” kataku.
Kak Farida mengacungkan jempol. “Kakak yakin kamu pasti bisa! Semangat!”
Aku tersenyum. “Iya, Kak, terima kasih solusinya,” ucapku.
* * *
            “Hai, Dian, Agnes!” sapaku ketika berpapasan dengan kedua anak itu di koridor.
            “Oh, halo, Khaula,” balas Agnes. Dian tampak tersenyum menahan tawa, tapi aku berusaha untuk tidak memikirkan itu. Aku tersenyum pada mereka, lalu kembali berjalan.
            Di kelas, aku mencoba mendekati Ira yang sedang mengerjakan soal latihan. Dia terlihat kebingungan. “Ira, aku boleh bantu, nggak?” Aku menawarkan bantuan.
            “Boleh aja, sih,” kata Ira. Dia pun menunjukkan soal yang tidak bisa dia kerjakan. Aku pun mengajarinya cara menyelesaikan soal itu.
            “Oh, gitu caranya,” Ira mengangguk-angguk mengerti setelah kuajari. “Makasih, ya.”
            “Iya, sama-sama,” ucapku. Aku pun beranjak menuju tempat teman yang lain, melakukan hal yang sama. Lama kelamaan, kalau aku seperti ini, terasa menyenangkan.
            Ketika jam istirahat, aku pergi ke kantin. Hari ini, aku mendapat uang jajan lebih banyak, sebagai imbalan dari Ibu karena aku membantunya berjualan minggu lalu. Kulihat Muna dan Fitri sedang memilih-milih jajanan. Aku menghampiri mereka. “Kalian mau beli apa?” tanyaku.
            “Nggak, Muna doang, aku cuma ikut aja. Uangku ketinggalan di rumah,” kekeh Fitri.
            Aku merogoh saku. “Nih, buat kamu,” kataku seraya menyodorkan selembar uang pecahan 10.000 rupiah.
            “Wah, bener, nih?” Fitri tampak ragu-ragu. Aku mengangguk. “Waah, makasih banyak, Khaula!” ucap Fitri, mengambil uang itu. Aku tersenyum. Hatiku mulai nyaman. Sepanjang hari ini, aku sudah tidak mendengar ejekan lagi.
            Sampai suatu pagi, ketika aku masuk kelas, Dian dan teman-temannya sudah berdiri di ambang pintu. “Khaula, kami minta maaf, ya. Selama ini kami udah kasar sama kamu,” ujar Agnes.
            “Ternyata kamu nggak seperti yang kami kira,” sambung Dian. “Kamu mau kan maafin?”
            Aku tersenyum, lalu mengangguk. “Dari awal aku udah maafin kalian, kok.”
            Mereka tampak senang. Satu persatu, mereka bergantian menjabat tanganku. Seisi kelas juga ikut berjabat tangan denganku. Hari ini, aku telah menyadari, bahwa, berteman itu indah.[]

(cerpen ini Safina buat untuk mengisi rubrik cerpen di bulletin sekolah)

Rainbow

Rainbow
By : Safina Zahra Ayesha
On a quiet afternoon
I saw black clouds in the overcast sky
Water drops falling one by one
And the air become colder

After that,
Rain falls heavily
I was sitting in front of the window, listening the sound of the rain
The cold air as piercing my skin, but I don’t care
I always looking out the window
Waiting for the rain to stop
And look forward to something
That doesn’t necessarily happen

After a while, the rain is stopping
The sun is shining bright
I saw a beauty
A colorful paint
In the sky that sunny back

My smile is blooming
I feel so happy
That is something that I waited
And I always miss it

That is a rainbow

(puisi ini Safina buat ketika kelas 6 SD untuk ujian praktek bahasa Inggris)

Little Help for Our Earth

Little Help for Our Earth
By : Safina Zahra Ayesha
Long time ago,
My country is clean, cool, and shady
There were many trees and environment without trash
Long time ago,
My forest is lush and beautiful
With lot of shade trees
Long time ago,
The village where I live has a clean river
The air is fresh, without smell of trash

However, now,
Why there are pollution everywhere?
Why there are so many trash almost everywhere?
Why the forests become bald?
Why the rivers become dirty, full of trash?

And how many times flood occurs?
And how many times landslides occurs?
And how many peoples are sick because of air pollution?
And who has done all of these?

It’s all due to the hands of rogue who doesn’t care about the environment
Littering without the slightest feeling of guilt
Cutting down trees in the forest without thinking first
Burning forests to create fields
Pollute rivers without thinking about what the consequences

However, why do they always blame government?
Why do they always blame others?
Don’t they realize the mistakes they have done?

However, I will not stay silent
I want to make rivers clean back
I want to make gutters free from trash
I want to make the forest lush back
I want to make the air in the roads become fresh and healthy again

Let’s plant back the bald forests
Let’s put trash in the trash box
Let’s reduce the use of polluting vehicles
Take care of our earth

Because earth is where we live

(Safina membuat puisi ini ketika kelas 6 SD untuk ujian praktek bahasa Inggris)

Bangga Menjadi Anak Indonesia

Bangga Menjadi Anak Indonesia
Karya : Safina Zahra Ayesha

Indonesia
negeri yang kaya akan banyak hal
Laut dengan air yang biru,
Dan miliaran mahluk indah di dalamnya
Berpuluh ribu pulau,
Dengan kekayaan alam dan budaya tak terkira
Negeri ini pun sudah bebas dari para penjajah
Berkat para pahlawan yang telah berjuang mempertahankan negara ini
Tanpa kenal balas budi

Namun, kini,
Korupsi dan kemiskinan menjadi hal yang terdengar begitu biasa
Tak banyak yang memikirkan para generasi penerus bangsa yang kelak tidak bisa mewujudkan impiannya
Pembakaran hutan dan sungai-sungai yang tercemar, sudah tidak asing lagi di mata
Namun, kelak yang menjadi asing di mata anak-anak nanti
Adalah sungai jernih dengan udara yang sejuk

Dan masih banyak lagi yang membuat orang-orang membuka sebuah buku ibarat pikiran mereka
Dan menggoreskan pena mereka
‘Aku tidak bangga menjadi anak Indonesia’

Namun, aku tidak mungkin ingin berkata seperti itu juga
Aku juga tidak akan berputus asa dan diam saja
Ini adalah tempat di mana aku pertama kali bernafas
Tempat di mana aku berpijak
Tempat di mana aku hidup hingga sekarang ini
Oleh karena itu, aku bertekad akan mengubah negeri ini

Mari kita teruskan perjuangan pahlawan kita,
tapi tidak dengan berperang dengan senjata
Melainkan dengan belajar dan berusaha
Untuk mengubah negeri ini
Menjadi negeri yang diimpikan
Negara yang bersih dari korupsi,
Semua anak yang dapat bersekolah,
Dan dengan udara yang sejuk, pepohonan yang rindang, dan sungai-sungai yang jernih
Juga kaya akan flora dan fauna yang indah

Dan akhirnya, kita buka kembali buku catatan itu
Menghapus kalimat ‘aku malu menjadi anak Indonesia’

Dan menulis ‘aku bangga menjadi anak Indonesia

(puisi ini Safina buat ketika kelas 6 SD untuk ujian praktek Bahasa Indonesia)

Go Green in Home

Today, the earth is getting damaged. Denuded forests, rivers full of garbage, polluted air, and others. As a result, frequent natural disasters such as floods and landslides. There are also many people who are sick from air pollution. Obviously we do want to avoid things like that. So, we must take action commonly called go green.
We do not need to bother to go green. We can start with simple things, even we can also do it at home. Here I will describe about go green at home, you can do from waking up when you go to sleep.
We live in a tropical country, so that the air temperature is high. Therefore, we often use the air conditioner or a fan that does not overheat during sleep. But think. For example, if we sleep at 9, then got up at 4, how many hours the fan or air conditioning is on without stopping?  Then in the afternoon, the AC is still turned on. And one day AC could be burned out. We must not waste electrical power because of a negative impacts. For our earth's environment as a whole, CFC generated by the use of air conditioning can cause the ozone layer in the earth's atmosphere become hollow. This condition would cause the ozone to lose its main function, namely as an antidote to the dangers of ultraviolet rays that harm our bodies.
So what should we do? Of course we can not throw our AC away for granted. So, the simplest way is to directly turn down the air conditioner or a fan (set it in normal temperature, not too low) before you go to sleep until you wake up and open the window of the room so that the air exchange.
Our obligation as Muslims are praying. And prayer is certainly not valid if it does not perform ablution (wudhu). But, remember, we can not turn on the water too much when ablution. Use water sparingly. There are still many people who need the water. Luckily we were still able to perform ablution with clean water.
When it is already getting light, open all windows in home. In spite of the exchange of air, the sun will go into the house and will make the room brighter, so that we can turn off the lights. Turn off all the lights to save power. Think about the situation in rural villages predominantly can not yet feel of being in the room lit by lamps.
Of course we had to shower every morning. And still the same, when taking showers do not overdo the use of water. When it is not used, close the water tap to save the water.
When you go to school, you should also bring your own supplies and drinking water. That is one way to reduce waste. If we buy bottled water, the bottle or glass will surely result garbage. So even with food, for example, we purchase sausage skewers. Although there is no packaging, of course, also produce waste that is of stitches. So, we better bring lunch to school.
When you go home from school, usually there is free time. Try to fill the free time to be creative. Go to the warehouse in the home or other storage. If you find usable stuff, just take it and recycle that.
You also may spend time with planting. If you do not have seeds, you could do some artificial vegetative such as grafting or cuttings. If you do not learn yet, you can see in the book or the internet. We also can make compost from wet trash that so easy to find in your home. For example, we can use the leftover rice or vegetables. If you don’t know how to make compost, you can ask to your parents or search in the internet.
In the afternoon, we usually shower. Try to accommodate the water used to bathe. That water can be used for watering plants. But, water it when the late afternoon only. Do not water your plants when during the day, because it will actually evaporate because of the sunlight.
In the evenings, when we usually like to spend time with watching television. But, sometimes we often do other things and forget to switch the TV off. So, if you want to do other things, turn off the TV first.
When going to bed, turn off the lights in part of the room, including the room lights. The rooms have to be dark when we sleep. Because, in addition to saving electricity, it is also beneficial to your health. The new body could produce the hormone melatonin when there is no light. This hormone is one of the immune hormone that is able to fight and prevent a variety of diseases including breast cancer and prostate cancer. Unfortunately, the hormone melatonin will not appear if the person in bed at night with the lights on. The presence of light is making the hormone melatonin production stops. So, turn off the lights when going to sleep. And do not forget, set the AC with normal temperature, not too low.

(Safina menulis essay ini untuk ujian praktek bahasa Inggris ketika kelas 6 SD)

Taman di Kotaku


Sejak berumur 6 tahun, aku tinggal di Depok. Di sini ada beberapa taman kota. Salah satunya Taman Lembah Gurame. Taman ini berlokasi di Perumahan Perumnas Depok 1 Kelurahan Depok Jaya, Pancoran Mas. Aku pernah pergi ke sana.
        Di taman itu, aku melihat papan di depan setiap pohon. Papan itu bertuliskan nama dan informasi tentang pohon tersebut. Ada cemara balon, mahoni, dan lain-lain. Beberapa gazebo dan bangku taman juga ada. Tulisan besar terpampang di depan dua kolam yang ada di sana. Di depan kolam yang pertama, tulisannya ‘LEMBAH’ dan yang satu lagi ‘GURAME’. Ada juga taman bermain. Di situ ada ayunan, perosotan, dan lain-lain. Disediakan pula tempat sampah dua jenis, yaitu organik dan non organik.  Menurutku, ini bagus, tapi bukan berarti sempurna. Banyak hal yang menjadikan taman ini kurang indah.
        Pertama, banyak sampah. Ketika baru masuk, yang pertama aku lihat di tanah adalah sampah. Padahal sudah disediakan tempat sampah dan salah satu peraturan taman kotanya adalah dilarang membuang sampah sembarangan. Kedua, ketika aku duduk-duduk di taman bermain, kulihat banyak coretan di beberapa bangunan. Seharusnya pengunjung ikut memperhatikan kebersihan taman kota. Kalau kotor, selain tidak nyaman dipandang, itu juga tidak aman bagi kesehatan.
        Setelah browsing di internet, aku pun tahu bahwa, taman adalah sebidang lahan berpagar yang digunakan untuk mendapatkan kesenangan, kegembiraan, dan kenyamanan(Laurie, 1986:9). Berarti, seharusnya taman kota itu nyaman. Kalau tamannya bersih dan segar pasti akan menyenangkan.
        Taman kota juga memiliki fungsi-fungsi. Ada fungsi ekologis, yaitu sebagai penjaga kualitas lingkungan kota. Taman dapat berfungsi sebagai paru-paru kota yang menghasilkan banyak O2, filter debu dan asap kendaraan bermotor, sehingga dapat meminimalisir polusi udara, dan peredam kebisingan kota. Juga berfungsi sebagai tempat penyimpanan air tanah, sehingga mencegah datangnya banjir dan erosi serta menjamin pasokan air tanah. Dan, pelestarian lingkungan ekosistem.
        Ada juga fungsi sosialnya. Taman kota bisa dijadikan tempat komunikasi sosial. Sebagai sarana olahraga, bermain, dan rekreasi juga. Sebagai landmark sebuah kota, dan menambah nilai estetika sebuah lingkungan sehingga menjadi daya tarik tersendiri bagi sebuah kota.
        Jadi, kalau benar-benar mempunyai fungsi seperti di atas, pasti akan sangat indah. Seharusnya taman kota ini memiliki fungsi-fungsi itu, agar warga bisa merasakan manfaatnya.
        Melihat kondisi ini, aku jadi ingin ada beberapa program yang bisa membuat taman kota memiliki manfaat sesuai yang seharusnya. Pemerintah bisa mengadakan lomba taman kota paling baik. Bisa se-provinsi atau beberapa kota. Dengan begitu, pemerintah kota yang ikut serta bisa mengadakan kegiatan-kegiatan untuk warga agar taman kota menjadi bersih, sehat, dan menyenangkan. Misalnya, acara bersih-bersih atau menghias taman. Kota yang tamannya paling memenuhi syarat akan mendapatkan penghargaan.

        Lalu, ada lagi. Kalau ada pengunjung yang membuang sampah sembarangan, akan dikenakan denda. Atau, setiap pekan, ada satu hari membersihkan taman. Bisa juga diadakan acara penanaman pohon di taman. Harapannya, taman bisa memberikan manfaat bagi penduduk kota dengan adanya program-program tersebut.

(cerpen ini dibuat pada tahun 2015 untuk lomba Konfa 2015, sayangnya tidak lolos seleksi :v
Sebelumnya, Safina pernah menjadi delegasi Konferensi Anak Indonesia 2014 'Aksi Kecil Hidup Bersih' :D )

Resep Puto (Makanan Khas Filipina)



Related imagefoto : globalpinoyonline.wordpress.com

Dulu, sempat ada tugas presentasi tentang makanan Filipina. Salah satu makanan yang Safina presentasiin adalah puto. Puto adalah kue beras dari Filipina yang sering dimakan saat sarapan. Safina jadi tertarik bikin makanan itu, jadi dicari resepnya. Nah, kali ini, Safina mau bagi-bagi resepnya. Nih…

Bahan
«  4 cangkir tepung beras
«  2 1/2 sendok makan soda kue
«  2 cangkir gula
«  1 butir telur
«  2 cangkir santan kelapa
«  1/2 cangkir butter yang dilelehkan
«  2 1/2 cangkir air
«  Keju
«  Pewarna makanan (terserah mau pakai atau nggak)

Langkah-langkah

1.      Ayak tepung beras, soda kue, dan gula hingga rata.
2.      Tambahkan telur, santan, butter, dan air. Campurkan hingga rata.
3.      Kalau mau warna-warni, bagi adonannya menjadi 4 bagian. Sebenarnya, nggak harus 4 bagian juga. Waktu itu, Safina cuma 3 bagian karena pewarnanya cuma 2. Teteskan pewarna makanan ke 3 bagian(kalau kalian membagi jadi 4 bagian. Pokoknya sisain 1 bagian). Sisain satu bagian tanpa warna. Tapi ini terserah, sih. Kalau kalian mau semuanya berwarna, ya nggak apa-apa.
4.      Tuangkan adonan ke cetakan cupcake. Nggak usah sampai penuh, sisain sedikit tempat aja.
5.      Potong keju menjadi kotak-kotak. Kecil-kecil aja. Lalu, letakkan di atas adonan.
6.      Kukus selama 20 menit. Jangan asal-asalan aja, karena waktu itu, adik Safina ngukusnya kecepetan, jadi kurang matang dan rasanya nggak enak banget.
7.      Setelah 20 menit, kalau bisa, keluarkan dari panci, pakai kain, biar nggak panas. Tapi, kalau nggak bisa, biarin dulu aja. Kalau rasanya udah nggak panas lagi, keluarin. Terus, keluarkan puto dari cetakan.
8.      Selesai! Sajikan

Tips

«  Kalau nggak ada tepung beras, bisa pakai tepung terigu. Tapi, rasanya nggak akan setradisional yang pakai tepung beras.
«  Kalau nggak ada santan, bisa pakai susu, setengah dari jumlah santan atau 1 cangkir. Tapi, rasanya juga nggak akan setradisional kalau pakai santan.
«  Kalian juga bisa menambahkan satu sendok tepung tapioka biar lebih lengket.
«  Kalau pakai keju cepat leleh, masukkan di akhir proses mengukus saat tersisa 2 menit.
«  Kamu bisa memakan puto dengan menambahkan parutan kelapa di atasnya.

Sebenarnya, Safina baca resep ini di WikiHow, tapi Safina tulis di blog ini dengan bahasa Safina sendiri dan sebagian sesuai ingatan saja. Jadi, mungkin ada kata yang mirip-mirip ya, hehehe.


Baiklah, sampai ketemu lagi di artikel selanjutnya. Selamat mencoba!

Persahabatan di Panti Asuhan

Impian berlibur ke Lombok hanya tinggal khayalan. Aku hanya bisa mengarang cerita tentang itu. Tapi, apakah itu akan membuatku puas? Tentu tidak.
      Sudah lama sekali aku dan teman-teman membuat rencana untuk berwisata ke Lombok. Bahkan kami sudah membuat daftar barang-barang yang harus dibawa dan oleh-oleh yang akan dibeli. Kami sangat ingin pergi ke sana, karena setiap liburan selalu saja berlibur ke tempat yang itu-itu saja. Karena itu, kami pikir Lombok adalah tujuan yang bagus.
      Liburan pun semakin dekat. Hatiku sangat senang. Dan pagi itu, aku menceritakan rencanaku itu pada Ibu.
      Namun, yang dikatakannya adalah, “Kirana, rencanamu bagus. Tapi, maaf, untuk kali ini liburannya ke panti asuhan saja. Ibu sudah merencanakannya sejak dua tahun yang lalu.”
      Panti asuhan? Memangnya untuk apa aku ke sana? Memangnya itu tempat liburan? Kenapa liburannya malah ke sana? Tapi, mau tidak mau aku menurut saja.
      Tadi aku sudah mengabari salah seorang teman. Katanya sih, tidak apa-apa. Tapi dia terlihat kecewa. Katanya, mereka akan tetap pergi ke Lombok, tanpa aku.
      “Kirana, ayo siap-siap!” seru Ibu.
      “Siap-siap?”
      “Iya. Besok, kita akan berangkat ke panti asuhan. Kamu akan menginap di sana selama satu minggu, karena Ibu akan pergi ke luar kota,” jelas Ibu.
      Aku segera berlari menghampiri Ibu. “Tapi, kok Ibu baru bilang sekarang mau ke luar kota? Kenapa Kirana tidak ikut Ibu saja? Atau kenapa Kirana tidak menginap di tempat lain?” tanyaku.
      “Ibu sudah bicara dengan pemilik panti asuhan yang kebetulan adalah teman Ibu. Jangan khawatir, semua orang di sana pasti menyambutmu dengan sukacita. Di sana kamu akan mendapatkan banyak teman,” terang Ibu. “Sekarang masukkan baju-bajumu ke dalam tas. Dan, kalau ada barang-barang yang sudah tidak terpakai, letakkan saja di dalam kardus itu, untuk disumbangkan,” kata Ibu sambil menunjuk sebuah kardus besar di sudut ruang keluarga.
      Aku mengangguk pelan, kemudian berjalan menuju kamar dan memasukkan baju-baju ke dalam tas besar.
* * *
Esoknya, tibalah hari ‘istimewa’ itu. Pagi-pagi sekali, kami sudah berangkat ke panti asuhan. Sesampainya di sana, aku melihat banyak anak-anak yang keluar dari bangunan, tampak bingung melihat kami.
      “Bu Isma, ada siapa itu?” tanya salah seorang anak.
      Kemudian, seorang wanita yang kira-kira berusia 36 tahun, berjalan menghampiri anak itu. “Oh itu Bu Nia dan Kirana!” serunya.
      “Lama tidak bertemu, ya,” kata Ibu sambil mendekati Bu Isma.
      “Bagaimana kabar keluargamu?”
      “Semuanya baik-baik saja. Kirana juga begitu, iya kan Kirana?” Ibu melirikku. Aku mengangguk.
      “Anak-Anak, ini Kirana, teman baru kalian.  Dia akan menginap di sini selama satu pekan. Berteman baik dengannya, ya,” pesan Bu Isma.
      “Iya, Bu…,” jawab anak-anak panti asuhan. Aku memandang mereka satu persatu. Ada yang kelihatannya sebaya denganku, ada juga yang sepertinya lebih muda atau lebih tua.
      Aku menarik lengan baju Ibu. “Ibu, barangnya?” aku mengingatkan.
      “Oh iya!” Ibu langsung kembali ke mobil dan mengambil kardus berisi barang-barang sumbangan.
      “Ini, ada sedikit barang,” kata Ibu.
      “Wah, terima kasih. Ini tidak sedikit, kok,” ucap Bu Isma. “Maaf merepotkan, sebenarnya tidak usah menyumbang.”
      “Tidak apa-apa,” sanggah Ibu.
      Anak-anak itu pun langsung mengerubuti kardus. Bagaikan kerubungan lalat atau gerombolan semut. Mereka sibuk berebut membuka kotak kardus itu. Aku agak kesal melihatnya.
      “Eeh, bilang apa dulu?” seru Bu Isma.
      “Mm, terima kasih, Bu Nia,” kata anak-anak.
      Ibu tersenyum. “Sama-sama.”
      Setelah itu, para anak ‘kampungan’ tadi kembali sibuk bergerombol.
      “Kirana, Ibu pergi dulu, ya. Sudah hampir terlambat,” ucap Ibu. Aku mengangguk. Setelah pamit pada Bu Isma dan anak-anak panti, Ibu langsung menuju mobil dan pergi meninggalkan panti asuhan.
      “Nah, sekarang kita masuk ke dalam,” ajak Bu Isma. Aku masuk dengan sedikit ragu.
      “Bu Isma, ayo kita bagi hadiahnya!” seru anak yang kelihatannya lebih kecil dariku.
      “Iya, tapi, sebelum itu kita kenalan dulu dengan Kak Kirana,” kata Bu Isma. “Ayo membuat lingkaran dan perkenalkan diri kalian satu persatu.”
      Seorang anak perempuan memulai lebih dulu. “Nama saya Rena, saya kelas 5.”
      Huh, kampungan sekali, pakai saya saya segala, pikirku. Sebaya denganku, tapi tubuhnya lebih pendek. Selanjutnya, anak lain memperkenalkan dirinya dan begitu terus sampai anak terakhir.
      “Baiklah, sekarang kalian boleh bagi barang-barangnya. Yang tertib, ya,” ujar Bu Isma. Semuanya bersorak gembira. Aku diam saja, memperhatikan anak-anak itu dengan kesal.
      Sementara itu, Bu Isma mengajakku ke sebuah kamar. “Kirana, ini kamarmu. Kamu boleh istirahat dulu, atau kalau mau bermain dengan teman-teman boleh.”
      Aku mengangguk. “Terima kasih, Bu,” ucapku. Kemudian aku masuk ke kamar dan meletakkan tas. Kamarnya bagus juga. Dindingnya berwarna hijau, kasurnya dilapisi sprei warna pelangi, dan tirainya bermotif kupu-kupu.
      “Huh, bosan,” gerutuku. Karena mengantuk, aku pun berbaring di tempat tidur dan memejamkan mata.
* * *
“Kirana, bangun!” samar-samar, terdengar suara seseorang. Aku membuka mata. Ternyata Rena.
      “Kenapa?” tanyaku.
      “Sudah waktunya makan siang,” jawab Rena.
      “Aku tidak lapar,” kataku. Sebenarnya, aku lapar. Hanya malas saja bertemu dengan mereka.
      “Oh, baiklah. Kalau Kirana nanti mau makan, ke ruang makan saja, ambil makanannya,” ujar Rena, kemudian pergi.
      Aku memutuskan untuk tidak makan siang. Rasanya bosan sekali, seperti di rumah saja. Walaupun desain ruangan di sini bagus. Tapi tetap saja tidak membuatku senang.
      Beberapa jam kemudian, Rena kembali. Aku mulai marah. “Iih, sebenarnya kamu mau apa?”
      “Kirana mau ikut main ke sungai? Di sana pemandangannya indah,” ajak Rena.
      Hmm, sepertinya menarik juga. Mungkin akan menghilangkan rasa bosanku, pikirku. “Ya sudah, aku mau ikut,” kataku.
      Rena pun membawaku ke sungai yang dia maksud. Sesampainya di sana, hmm… memang benar, pemandangannya indah. Airnya jernih, banyak pohon, dan udaranya sejuk. Di sana sudah ada banyak anak panti yang bermain air. Aku mencoba mencelupkan tangan. Segar sekali rasanya. Tiba-tiba saja, entah kenapa, perasaan kesal dan bosanku menghilang.
      “Ayo bermain air bersama kami, Kirana!” ajak Rena dan teman-teman yang lain. Aku mengiyakan dan membuka sepatu, lalu ikut bermain air bersama mereka.
      Aku mencipratkan air pada Rena. Rena membalas dengan percikan air lebih banyak lagi. Anak lain melemparkan air padaku. Aku tertawa dan memercik lagi. Kami bermain dengan gembira.
      Tapi, tiba-tiba, mataku berkunang-kunang. Kepalaku pening. Tubuhku lemas. Lalu, tiba-tiba, semuanya gelap di hadapanku.
* * *
Aku membuka mata. Kurasa, sekarang aku berada di tempat lain. Dinding hijau, tirai motif kupu-kupu, sprei warna-warni… hah, ini kamarku?
      “Kirana! Syukurlah kamu sudah siuman!” seru seseorang. Aku mencoba mengingat-ingat. Oh, itu Bu Isma.
      “Lho? Lho, kok?” aku heran. “Memangnya aku kenapa?”
      “Kamu pingsan saat bermain di sungai. Karena pingsan di sungai, kamu menelan banyak air. Mungkin karena tadi belum makan, jadi pingsan. Untung tadi Rena menyelamatkanmu,” jelas Bu Isma.
      Aku terkejut. “Rena? Di mana dia?” tanyaku.
      “Rena sedang istirahat di kamar sebelah. Dia kedinginan karena tadi sempat terseret arus saat menyelamatkanmu,” jawab Bu Isma.
      “Kenapa dia… ah, sudahlah. Bu Isma, saya ingin bertemu dengan Rena,” kataku. Bu Isma pun mengantarku ke tempat Rena.
      “Rena!” seruku seraya berlari menghampirinya. “Terima kasih sudah menyelamatkanku! Maaf karena sebelumnya aku sudah meremehkanmu, sekarang aku tidak akan begitu lagi!”
      “Tidak apa-apa, kok. Tadi kamu sudah cukup berubah saat bermain di sungai,” sahut Rena.
      Aku berpikir sejenak, kemudian hendak berlari menuju kamar. “Tunggu sebentar!”
      Kemudian, aku kembali dengan membawa satu stel baju. “Ini, pakai saja bajuku,” ujarku.
      “Eh, kok pakai bajumu? Kan aku sudah dapat dari sumbangan!” sanggah Rena.
      “Tidak apa-apa. Ini baju hangat yang nyaman. Supaya kamu tidak kedinginan lagi, pakai saja ini.”
      “Baiklah, terima kasih, Kirana,” ucap Rena sambil menerima baju itu. Aku tersenyum.
      “Oh iya, kapan-kapan kamu boleh kok main ke rumahku,” kataku. “Kamu juga boleh ke sekolahku. Nanti kukenalkan pada teman-teman sekelas.”
      “Wah, terima kasih! Kamu juga bisa mengajak teman-temanmu bermain ke sini.”
      “Kapan saja?” tanyaku.
      “Kapanpun bisa,” jawab Rena, “kecuali saat tengah malam—ya mana mungkin kalian akan ke sini tengah malam?”

      Aku tertawa. Sekarang, rasanya aku tidak mau satu minggu cepat berlalu.[]