Impian
berlibur ke Lombok hanya tinggal khayalan. Aku hanya bisa mengarang cerita tentang
itu. Tapi, apakah itu akan membuatku puas? Tentu tidak.
Sudah lama sekali aku dan teman-teman membuat
rencana untuk berwisata ke Lombok. Bahkan kami sudah membuat daftar barang-barang
yang harus dibawa dan oleh-oleh yang akan dibeli. Kami sangat ingin pergi ke
sana, karena setiap liburan selalu saja berlibur ke tempat yang itu-itu saja. Karena
itu, kami pikir Lombok adalah tujuan yang bagus.
Liburan pun semakin dekat. Hatiku sangat
senang. Dan pagi itu, aku menceritakan rencanaku itu pada Ibu.
Namun, yang dikatakannya adalah, “Kirana, rencanamu
bagus. Tapi, maaf, untuk kali ini liburannya ke panti asuhan saja. Ibu sudah
merencanakannya sejak dua tahun yang lalu.”
Panti asuhan? Memangnya untuk apa aku ke
sana? Memangnya itu tempat liburan? Kenapa liburannya malah ke sana? Tapi, mau
tidak mau aku menurut saja.
Tadi aku sudah mengabari salah seorang
teman. Katanya sih, tidak apa-apa. Tapi dia terlihat kecewa. Katanya, mereka
akan tetap pergi ke Lombok, tanpa aku.
“Kirana, ayo siap-siap!” seru Ibu.
“Siap-siap?”
“Iya. Besok, kita akan berangkat ke panti
asuhan. Kamu akan menginap di sana selama satu minggu, karena Ibu akan pergi ke
luar kota,” jelas Ibu.
Aku segera berlari menghampiri Ibu. “Tapi,
kok Ibu baru bilang sekarang mau ke luar kota? Kenapa Kirana tidak ikut Ibu
saja? Atau kenapa Kirana tidak menginap di tempat lain?” tanyaku.
“Ibu sudah bicara dengan pemilik panti
asuhan yang kebetulan adalah teman Ibu. Jangan khawatir, semua orang di sana
pasti menyambutmu dengan sukacita. Di sana kamu akan mendapatkan banyak teman,”
terang Ibu. “Sekarang masukkan baju-bajumu ke dalam tas. Dan, kalau ada
barang-barang yang sudah tidak terpakai, letakkan saja di dalam kardus itu,
untuk disumbangkan,” kata Ibu sambil menunjuk sebuah kardus besar di sudut
ruang keluarga.
Aku mengangguk pelan, kemudian berjalan
menuju kamar dan memasukkan baju-baju ke dalam tas besar.
* * *
Esoknya,
tibalah hari ‘istimewa’ itu. Pagi-pagi sekali, kami sudah berangkat ke panti
asuhan. Sesampainya di sana, aku melihat banyak anak-anak yang keluar dari
bangunan, tampak bingung melihat kami.
“Bu Isma, ada siapa itu?” tanya salah
seorang anak.
Kemudian, seorang wanita yang kira-kira
berusia 36 tahun, berjalan menghampiri anak itu. “Oh itu Bu Nia dan Kirana!” serunya.
“Lama tidak bertemu, ya,” kata Ibu sambil
mendekati Bu Isma.
“Bagaimana kabar keluargamu?”
“Semuanya baik-baik saja. Kirana juga
begitu, iya kan Kirana?” Ibu melirikku. Aku mengangguk.
“Anak-Anak, ini Kirana, teman baru kalian.
Dia akan menginap di sini selama satu
pekan. Berteman baik dengannya, ya,” pesan Bu Isma.
“Iya, Bu…,” jawab anak-anak panti asuhan.
Aku memandang mereka satu persatu. Ada yang kelihatannya sebaya denganku, ada
juga yang sepertinya lebih muda atau lebih tua.
Aku menarik lengan baju Ibu. “Ibu,
barangnya?” aku mengingatkan.
“Oh iya!” Ibu langsung kembali ke mobil
dan mengambil kardus berisi barang-barang sumbangan.
“Ini, ada sedikit barang,” kata Ibu.
“Wah, terima kasih. Ini tidak sedikit,
kok,” ucap Bu Isma. “Maaf merepotkan, sebenarnya tidak usah menyumbang.”
“Tidak apa-apa,” sanggah Ibu.
Anak-anak itu pun langsung mengerubuti kardus.
Bagaikan kerubungan lalat atau gerombolan semut. Mereka sibuk berebut membuka
kotak kardus itu. Aku agak kesal melihatnya.
“Eeh, bilang apa dulu?” seru Bu Isma.
“Mm, terima kasih, Bu Nia,” kata
anak-anak.
Ibu tersenyum. “Sama-sama.”
Setelah itu, para anak ‘kampungan’ tadi kembali
sibuk bergerombol.
“Kirana, Ibu pergi dulu, ya. Sudah hampir
terlambat,” ucap Ibu. Aku mengangguk. Setelah pamit pada Bu Isma dan anak-anak
panti, Ibu langsung menuju mobil dan pergi meninggalkan panti asuhan.
“Nah, sekarang kita masuk ke dalam,” ajak Bu
Isma. Aku masuk dengan sedikit ragu.
“Bu Isma, ayo kita bagi hadiahnya!” seru
anak yang kelihatannya lebih kecil dariku.
“Iya, tapi, sebelum itu kita kenalan dulu
dengan Kak Kirana,” kata Bu Isma. “Ayo membuat lingkaran dan perkenalkan diri
kalian satu persatu.”
Seorang anak perempuan memulai lebih dulu.
“Nama saya Rena, saya kelas 5.”
Huh,
kampungan sekali, pakai saya saya segala, pikirku. Sebaya denganku, tapi
tubuhnya lebih pendek. Selanjutnya, anak lain memperkenalkan dirinya dan begitu
terus sampai anak terakhir.
“Baiklah, sekarang kalian boleh bagi barang-barangnya.
Yang tertib, ya,” ujar Bu Isma. Semuanya bersorak gembira. Aku diam saja,
memperhatikan anak-anak itu dengan kesal.
Sementara itu, Bu Isma mengajakku ke
sebuah kamar. “Kirana, ini kamarmu. Kamu boleh istirahat dulu, atau kalau mau
bermain dengan teman-teman boleh.”
Aku mengangguk. “Terima kasih, Bu,”
ucapku. Kemudian aku masuk ke kamar dan meletakkan tas. Kamarnya bagus juga. Dindingnya
berwarna hijau, kasurnya dilapisi sprei warna pelangi, dan tirainya bermotif kupu-kupu.
“Huh, bosan,” gerutuku. Karena mengantuk,
aku pun berbaring di tempat tidur dan memejamkan mata.
* * *
“Kirana,
bangun!” samar-samar, terdengar suara seseorang. Aku membuka mata. Ternyata
Rena.
“Kenapa?” tanyaku.
“Sudah waktunya makan siang,” jawab Rena.
“Aku tidak lapar,” kataku. Sebenarnya, aku
lapar. Hanya malas saja bertemu dengan mereka.
“Oh, baiklah. Kalau Kirana nanti mau
makan, ke ruang makan saja, ambil makanannya,” ujar Rena, kemudian pergi.
Aku memutuskan untuk tidak makan siang. Rasanya
bosan sekali, seperti di rumah saja. Walaupun desain ruangan di sini bagus. Tapi
tetap saja tidak membuatku senang.
Beberapa jam kemudian, Rena kembali. Aku
mulai marah. “Iih, sebenarnya kamu mau apa?”
“Kirana mau ikut main ke sungai? Di sana
pemandangannya indah,” ajak Rena.
Hmm,
sepertinya menarik juga. Mungkin akan menghilangkan rasa bosanku, pikirku. “Ya
sudah, aku mau ikut,” kataku.
Rena pun membawaku ke sungai yang dia
maksud. Sesampainya di sana, hmm… memang benar, pemandangannya indah. Airnya
jernih, banyak pohon, dan udaranya sejuk. Di sana sudah ada banyak anak panti
yang bermain air. Aku mencoba mencelupkan tangan. Segar sekali rasanya. Tiba-tiba
saja, entah kenapa, perasaan kesal dan bosanku menghilang.
“Ayo bermain air bersama kami, Kirana!”
ajak Rena dan teman-teman yang lain. Aku mengiyakan dan membuka sepatu, lalu ikut
bermain air bersama mereka.
Aku mencipratkan air pada Rena. Rena
membalas dengan percikan air lebih banyak lagi. Anak lain melemparkan air
padaku. Aku tertawa dan memercik lagi. Kami bermain dengan gembira.
Tapi, tiba-tiba, mataku berkunang-kunang. Kepalaku
pening. Tubuhku lemas. Lalu, tiba-tiba, semuanya gelap di hadapanku.
* * *
Aku
membuka mata. Kurasa, sekarang aku berada di tempat lain. Dinding hijau, tirai motif
kupu-kupu, sprei warna-warni… hah, ini kamarku?
“Kirana! Syukurlah kamu sudah siuman!”
seru seseorang. Aku mencoba mengingat-ingat. Oh, itu Bu Isma.
“Lho? Lho, kok?” aku heran. “Memangnya aku
kenapa?”
“Kamu pingsan saat bermain di sungai. Karena
pingsan di sungai, kamu menelan banyak air. Mungkin karena tadi belum makan,
jadi pingsan. Untung tadi Rena menyelamatkanmu,” jelas Bu Isma.
Aku terkejut. “Rena? Di mana dia?”
tanyaku.
“Rena sedang istirahat di kamar sebelah. Dia
kedinginan karena tadi sempat terseret arus saat menyelamatkanmu,” jawab Bu
Isma.
“Kenapa dia… ah, sudahlah. Bu Isma, saya
ingin bertemu dengan Rena,” kataku. Bu Isma pun mengantarku ke tempat Rena.
“Rena!” seruku seraya berlari
menghampirinya. “Terima kasih sudah menyelamatkanku! Maaf karena sebelumnya aku
sudah meremehkanmu, sekarang aku tidak akan begitu lagi!”
“Tidak apa-apa, kok. Tadi kamu sudah cukup
berubah saat bermain di sungai,” sahut Rena.
Aku berpikir sejenak, kemudian hendak
berlari menuju kamar. “Tunggu sebentar!”
Kemudian, aku kembali dengan membawa satu
stel baju. “Ini, pakai saja bajuku,” ujarku.
“Eh, kok pakai bajumu? Kan aku sudah dapat
dari sumbangan!” sanggah Rena.
“Tidak apa-apa. Ini baju hangat yang
nyaman. Supaya kamu tidak kedinginan lagi, pakai saja ini.”
“Baiklah, terima kasih, Kirana,” ucap Rena
sambil menerima baju itu. Aku tersenyum.
“Oh iya, kapan-kapan kamu boleh kok main
ke rumahku,” kataku. “Kamu juga boleh ke sekolahku. Nanti kukenalkan pada
teman-teman sekelas.”
“Wah, terima kasih! Kamu juga bisa
mengajak teman-temanmu bermain ke sini.”
“Kapan saja?” tanyaku.
“Kapanpun bisa,” jawab Rena, “kecuali saat
tengah malam—ya mana mungkin kalian akan ke sini tengah malam?”
Aku tertawa. Sekarang, rasanya aku tidak
mau satu minggu cepat berlalu.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar