Oleh : Safina Zahra Ayesha Darajat
Selama
6 tahun, saya bersekolah di Sekolah Alam Depok, salah satu sekolah yang ada di daerah
Bedahan, kota Depok, atau biasa disingkat menjadi ‘SADe’. Tetapi, karena di
sana belum ada sekolah menengah, usai lulus, saya beralih ke sebuah SMP islam
terpadu yang agak jauh dari rumah. Dan hingga saat ini, saya masih tercatat
sebagai siswi kelas 8 di sana.
Mengingat
kurikulum di sekolah alam jauh berbeda dengan yang ada di sekolah biasa, akan
sedikit sulit bagi para alumni seperti saya untuk bisa beradaptasi dengan baik
di lingkungan baru. Apalagi saya yang sudah terlanjur cinta dengan sekolah alam
dan menganggap ‘fun learning’ yang
dipadukan dengan alam semacam itu adalah metode belajar yang paling pas buat
saya. Tetapi, apa boleh buat. Saya juga sekalian ingin coba-coba dan ingin
tahu, bagaimana, sih, pendidikan di sekolah biasa itu? Jadi, saya sedikit
‘berjuang’ untuk menyesuaikan diri.
Nilai Pendidikan Formal Tidak Selalu Menjamin Keunggulan dalam Persaingan dalam Belajar
Di SD, saya baru mengenal ulangan ketika kelas 6, itupun hanya sekilas dengan tryout ujian sekolah. Sebelum-sebelumnya, ujian hanya ada di akhir semester 1 dan 2. Tidak ada yang namanya mid semester dan ulangan harian. Itupun tidak mengandung kata-kata ‘ujian’, karena dinamakan ‘Evaluasi Hasil Belajar’(EHB).
Tetapi,
dengan ujian yang jarang-jarang, tetap saja tidak menghasilkan siswa-siswi yang
bodoh dan pemalas. Saya sendiri juga baru menyadarinya. Di semester pertama
saya bersekolah di SMP ini, nilai-nilai ulangan harian yang saya dapatkan,
semuanya di atas KKM yang tentu saja berkisar 70-80. Dan, alhamdulillah, saya
meraih peringkat pertama 2 kali berturut-turut di kelas 7.
Awalnya,
saya juga agak kaget karena berbeda jauh dengan hasil tes akademik yang saya
jalani sebelum resmi menjadi siswi di sekolah ini. Mungkin, karena kali ini
saya mulai mengenal ‘belajar sebelum ulangan’.
Namun,
yang membuat saya bingung untuk menjawab adalah, ketika banyak teman yang
bertanya, “Safina, kok kamu pintar sekali, sih? Belajarnya bagaimana?”.
Padahal,
saya pikir, cara belajar saya juga sama seperti mereka. Membaca buku cetak dan
catatan, membuat ringkasan sesuai dengan kisi-kisi yang diberikan, lalu
menghafal, dan sesekali mengerjakan soal-soal evaluasi. Begitu saja. Dan saya kira,
mereka lebih rajin dibanding saya yang baru terjun ke lingkungan sekolah
biasa. Apalagi, saya lebih sering menyibukkan diri dengan hobi, seperti
menulis dan menggambar. Terutama, kegiatan menulis yang tidak bisa dipisahkan dengan
saya walaupun sedang belajar untuk ujian sekalipun. Saya sudah punya 5 buku
yang sudah diterbitkan dan 2 lagi sedang diterbitkan.
Lantas,
kenapa? Kenapa saya bisa seperti itu?
Karena
rasa penasaran yang tinggi, saya pun melakukan sedikit ‘penelitian’ terhadap teman-teman
yang berasal dari SD biasa.
Peraturan Sekolah
Ya… pengamatan yang saya lakukan sederhana saja. Mula-mula, saya memperhatikan tingkah laku beberapa siswa.
Di
SMP ini, peraturannya tidak terlalu ketat, namun tetap saja agak susah untuk
dijalankan bagi beberapa murid. Misalnya, makan dengan tangan kanan, makan
harus sambil duduk, tidak boleh makan di kelas, dilarang berkata-kata kotor dan
kasar… dan hal-hal lain yang seperti itu. Sebenarnya, bagi saya, semua itu mudah
untuk dipatuhi, dan pada dasarnya memang penting dan harus ditaati. Namun, di
luar dugaan, rupanya masih banyak siswa yang melanggar di luar pengawasan guru.
Walau begitu, dari OSIS ada yang bertugas untuk mencatat nama-nama yang
melanggar, untuk kemudian diberi tindakan. Tetapi, banyak juga yang tidak
pernah jera.
Dan
dari sana, saya pun mendapat kata kuncinya : perhatian dari guru. Tak jarang
saya temui beberapa guru yang tegas. Yang ‘kelewat tegas’ juga ada, dan sering
sekali beberapa anak yang berbuat salah, dimarahi(lebih tepatnya dinasehati)
dengan suara keras. Tentu saja cara itu sangat menyakiti hati dan
menjengkelkan.
Tetapi,
malahan, siswa yang bahkan hampir setiap hari dimarahi seperti itu, adalah
siswa yang paling banyak melakukan pelanggaran setiap harinya. Seperti yang
sudah tertulis di atas : tidak pernah jera. Saya pun berpikir, kenapa mereka
tidak pernah kapok walaupun sudah diberi hukuman sedemikian rupa?
Akhirnya,
saya pun mengerti, dan saya membuat quotes
sendiri tentang itu :
MENGINGATKAN
dengan cara MENYAKITI dapat membuat orang lain patuh, namun itu hanya
SEMENTARA. Sedangkan, MENGINGATKAN dengan LEMBUT maupun TEGAS namun tetap
MENJAGA PERASAAN orang lain, akan menghasilkan dampak baik JANGKA PANJANG,
meski itu butuh PROSES.
Intinya,
seseorang akan dapat menerima sesuatu jika hal itu disampaikan dengan cara yang
tepat, walaupun terkadang dia membutuhkan waktu untuk mengerti tentang hal
tersebut. Itu juga saya dapatkan dari guru SD saya. “Ketika kamu meminta orang
lain untuk diam dengan berteriak, dia hanya akan terdiam sementara, kemudian kembali
mebuat kegaduhan. Tetapi, jika kamu menegurnya dengan tenang, dia akan bisa
mengerti kalau saat itu dia benar-benar harus diam, sehingga perlahan dia akan
menghentikan keberisikannya,” begitulah kira-kira kata-katanya.
Dan
bahkan saya juga baru sadar akan hal itu sekarang, tepatnya 3 tahun setelah
guru tersebut memberikan nasehat itu. Itulah yang dinamakan proses. Setiap
manusia itu butuh proses untuk mencerna dengan sangat-sangat baik.
Jika
seorang guru selalu mengharapkan hasil yang cepat dari muridnya yang berperilaku
tidak baik, sehingga dia terus memarahi muridnya itu, siswa tersebut tidak
punya waktu untuk merenung. Sehingga, bukannya mengikuti nasehat gurunya itu, dia
malah berbalik membencinya dan mencari-cari kekurangan guru itu. Dan itu
membuat kelakuannya kian bertambah buruk.
Di
beberapa kasus tentang pelanggaran terhadap peraturan sekolah yang melibatkan
beberapa teman saya, saya sering mendengar kata-kata seperti ini : “Ah, cuma
dihukum begini, sama teman-teman ini, udah biasa ini,”. Dan tidak pernah terlewat ‘kata motivasi’ seperti
“bodo amat” atau “nggak peduli”. Jadi, mereka seperti habis makan dan
meninggalkan sampahnya di satu tempat, lalu pergi ke tempat lain untuk
melakukan hal yang sama juga.
Lalu, Apa Hubungannya dengan Belajar?
Dari situ, saya mengetahui bahwa pendidikan karakterlah yang harus lebih ditekankan pada anak usia dini. Kenapa? Karena hal itu akan tebawa hingga dewasa, dan itu akan berguna ketika belajar di jenjang pendidikan berikutnya. Namun, mendidik juga harus dengan cara yang tepat.
Misalnya,
jika seorang anak melanggar peraturan, gurunya harus mengingatkan dengan lembut
dan berusaha untuk tidak melukai hatinya. Peran guru pun sangat penting dan
harus selalu ada di sisi murid. Dengan begitu, guru menjadi lebih mengenal tingkah
laku siswa yang bersangkutan, sehingga ia bisa menemukan cara atau metode
pengajaran yang paling pas untuk anak tersebut.
Di
samping itu, pendidikan di bidang akademik juga tidak boleh dilupakan. Tetapi,
jangan sampai melebihi pendidikan untuk pembentukan karakter, karena itu yang
paling penting untuk anak kecil. Mereka harus diajar secara perlahan-lahan
sampai mengerti dan tanpa beban.
Perlu
diterapkan metode fun learning. SD
saya, Sekolah Alam Depok, juga menggunakan metode tersebut. Dalam belajar, praktek
lebih diutamakan daripada teori, karena dengan begitu anak-anak dapat benar-benar
mengetahui informasi yang diberikan dengan melihat, mendengar, dan meraba objeknya
secara langsung.
Guru
pun juga harus senantiasa memberikan motivasi pada siswa. Jika semangat
belajarnya mulai menurun, guru harus menyemangati siswa tersebut. Jika dia
selesai mengerjakan tugas, dia harus diberi pujian, namun tidak berlebihan. Misalnya,
kata-kata, “kamu sudah berusaha dengan baik” lebih bagus dibanding “kamu
pintar”.
Nilai
juga sebenarnya tidak diperlihatkan jika merasa tidak perlu. Di SD saya, hampir
tidak pernah terlihat nilai angka di atas kertas hasil ujian. Yang kami lihat
hanyalah kata-kata seperti ‘good’, ‘very good’, ‘excellent’, dan lain sebagainya, sebagai bentuk apresiasi guru
terhadap kerja keras kami. Bahkan, setiap kalimat itu ada artinya. Misalnya,
jika seorang murid mendapatkan ‘good’,
itu berarti ia mendapat nilai kurang. Dan jika murid lain mendapatkan kata ‘very excellent’, artinya, dia memperoleh
hasil yang sangat bagus.
Kami
juga tidak pernah memikirkan nilai. Kalau sudah mendapat nilai tersebut, ya
sudah, dilupakan saja. Terbenam oleh semua kesenangan selama di sekolah. Yang
paling mirip dengan angka adalah nilai huruf seperti ‘B’, ‘A’, atau ‘A+’, yang
biasa kami lihat di hasil ujian bahasa Inggris. Bahkan, guru juga biasanya
menambahkan bintang, stiker, atau cap yang lucu-lucu sebagai penyemangat.
Jawaban atas Pertanyaan tentang Cara Belajar
Dengan belajar secara menyenangkan, belajar tidaklah menjadi beban. Jadi, meski di masa SD seorang siswa memiliki nilai-nilai yang belum terlalu bagus, tetapi jiwa siswa tersebut telah terisi dengan semangat menuntut ilmu, maka siswa itu dapat mempunyai potensi yang besar untuk meraih keberhasilan di jenjang selanjutnya. Berbeda dengan murid yang telah tertekan di awal, padahal pemikirannya belum matang sehingga terciptalah kemalasan dan kebencian dalam belajar. Hasilnya, ‘penyakit’ tersebut akan terus terbawa sampai dia tumbuh dewasa.
Tidak
hanya itu, dengan pendidikan yang membentuk karakter seorang anak secara
perlahan-lahan, akan menghasilkan dampak juga untuk masa depannya. Misalnya,
ketika seorang anak berusia 7 tahun, dia diberitahu agar makan itu seharusnya duduk
dan dengan tangan kanan. Mungkin, di usia yang lebih tua, dia akan merenungkan
kembali tentang itu, dan dia jadi mencari tahu sebab akibat dari peraturan
tersebut. Dengan begitu, dia menjadi tahu kenapa peraturan itu harus ditaati.
Sedangkan,
jika pendidikan karakter baru ditekankan ketika seorang anak sudah menginjak
usia remaja, pasti akan susah untuk membuatnya menjadi anak baik. Dia bisa saja
tidak peduli walaupun selalu dihukum karena pelanggaran yang dibuatnya. “Yang
penting nggak dibawa sampai tua, yang penting nggak bakal begini-begitu, yang
penting nggak bakal mati,” mungkin itulah yang ada di pikiran mereka.
Intinya,
jawaban untuk pertanyaan teman-teman tentang cara belajar saya adalah, yang
penting adalah pembentukan karakter yang telah saya dapatkan di SD. Pola pikir
yang telah terbentuk sehingga menganggap belajar itu tidak hanya untuk
mendapatkan nilai bagus, tetapi juga untuk diaplikasikan dalam kehidupan
sehari-hari, dan sebagai salah satu investasi masa depan.
Tidak Semuanya Negatif
Namun, tidak semua hal dalam proses pendidikan formal (sekolah biasa) negatif. Banyak hal positif seperti belajar teratur, persaingan lebih konkret dan mamacu diri untuk mencapai target tertentu, misalnya, dapat menjadi perangsang diri untuk lebih berpikiran maju dan bersikap kompetitif.
Walau
begitu, tetap saja harus diimbangi dengan pembentukan karakter. Peran guru
sangatlah penting dalam pendidikan sekaligus pembentukan karakter siswa di
sekolah. Guru harus mengetahui cara mendidik yang tepat. Alangkah lebih baik
jika masalah bisa diselesaikan tanpa harus memarahi murid. Dengan begitu, siswa
dapat terdorong untuk menjadi diri sendiri yang berkepribadian positif, mampu
bersaing, dan tetap ceria.